Sepak Bola Tanpa APBD, Mungkinkah? (1)
http://www.persijap.or.id/2008/04/sepak-bola-tanpa-apbd-mungkinkah-1.html
Anggota Superliga Terpacu Berbenah
- Oleh Hendro Martojo
PERSEPAKBOLAAN Indonesia saat ini memasuki babak baru. Sesuai persyaratan Badan Liga Indonesia (BLI), klub-klub profesional harus melengkapi diri dalam lima aspek, yaitu legal, sporting, infrastruktur, administrasi dan personel, serta keuangan.
Persyaratan yang digariskan dirasa sangat berat. Terlebih bagi klub kecil seperti Persijap Jepara yang pada tahun ini ”terpeleset” masuk Superliga, kasta tertinggi kompetisi sepak bola di Tanah Air. ’’Laskar Kalinyamat’’ merupakan satu-satunya wakil Jawa Tengah di ajang bergengsi tersebut.
Tetapi dalam proses transisi menuju sepak bola modern yang bervisi menjadi entitas industri, klub-ktub dihadapkan pada satu realitas bahwa sumber pendanaan utamanya sebagain besar masih berasal dari APBD. Berharap terus pendanaan dari APBD memang perlu dikaji. Sebab aturan perundangan yang ada cenderung membatasi hal itu.
Siapa yang bisa memberikan jaminan pada 2009 nanti ada aturan membolehkan penggunaan dana APBD untuk sepak bola? Mulai dari PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dengan dasar operasional Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang direvisi dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, penggunaan APBD untuk keperluan pembiayaan klub sepak bola profesional telah dibatasi.
Melelahkan
Di sisi lain kita juga berharap banyak dari keberadaan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) serta PP Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan dan PP Nomor 17 dan 18 tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan.
Setelah melalui perjuangan panjang, Persijap tahun ini memang masih diperbolehkan menggunakan dana APBD. Tetapi, bagaimana untuk tahun mendatang, masih mungkinkah?
Daripada kita terus melakukan tarik ulur yang terasa melelahkan dan menegangkan tentang boleh tidaknya penggunaan dana APBD untuk mendukung pembiayaan klub sepak bola profesional, ada baiknya kita berpikir alternatif, yaitu bagaimana membiayai klub sepak bola tanpa APBD.
Digulirkannya aturan dari BLI tentang lima aspek yang harus dipenuhi klub anggota Superliga sebenarnya memacu klub-klub peserta untuk berbenah.
Merupakan suatu hal yang wajar apabila banyak klub yang kelabakan mengikuti aturan ini.
Sebagaimana kita pahami bersama, dana dari APBD untuk mendanai klub sepak bola yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan dana hilang. Padahal kebutuhan untuk operasional klub yang berlaga di Divisi Utama, apalagi Superliga, memang terhitung besar. Kebutuhan klub lebih besar dibandingkan dengan dana yang diperoleh dari APBD.
Sulit untuk berharap dana tersebut bisa kembali (balik modal), apalagi untung.
Sebagai urun rembug dalam forum ini adalah, bahwa klub eks perserikatan yang saat ini mayoritas pembiayaannya masih bergantung dari APBD, ke depan bisa dikurangi sedikit demi sedikit, hingga nanti menjadi nol persen.
Gambarannya seperti ini: dengan asumsi pembiayaan untuk mengikuti Superliga PSSI 2008 sebesar Rp 20 miliar, sementara dukungan dari APBD Rp 10 miliar, maka komposisi pendanaan untuk Persijap adalah 50 : 50. Tiap tahun dukungan dana dari pemerintah daerah menurun.
Pada tahun 2009 nanti komposisinya diharapkan berubah 40 : 60 (40% dari APBD), kemudian tahun 2010 menjadi 25 : 75. Bahkan kemudian tahun 2011 menjadi nol persen APBD. (22)
*Drs Hendro Martojo MM, bupati Jepara dan ketua umum Persijap
Setelah melalui perjuangan panjang, Persijap tahun ini memang masih diperbolehkan menggunakan dana APBD. Tetapi, bagaimana untuk tahun mendatang, masih mungkinkah?
Daripada kita terus melakukan tarik ulur yang terasa melelahkan dan menegangkan tentang boleh tidaknya penggunaan dana APBD untuk mendukung pembiayaan klub sepak bola profesional, ada baiknya kita berpikir alternatif, yaitu bagaimana membiayai klub sepak bola tanpa APBD.
Digulirkannya aturan dari BLI tentang lima aspek yang harus dipenuhi klub anggota Superliga sebenarnya memacu klub-klub peserta untuk berbenah.
Merupakan suatu hal yang wajar apabila banyak klub yang kelabakan mengikuti aturan ini.
Sebagaimana kita pahami bersama, dana dari APBD untuk mendanai klub sepak bola yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan dana hilang. Padahal kebutuhan untuk operasional klub yang berlaga di Divisi Utama, apalagi Superliga, memang terhitung besar. Kebutuhan klub lebih besar dibandingkan dengan dana yang diperoleh dari APBD.
Sulit untuk berharap dana tersebut bisa kembali (balik modal), apalagi untung.
Sebagai urun rembug dalam forum ini adalah, bahwa klub eks perserikatan yang saat ini mayoritas pembiayaannya masih bergantung dari APBD, ke depan bisa dikurangi sedikit demi sedikit, hingga nanti menjadi nol persen.
Gambarannya seperti ini: dengan asumsi pembiayaan untuk mengikuti Superliga PSSI 2008 sebesar Rp 20 miliar, sementara dukungan dari APBD Rp 10 miliar, maka komposisi pendanaan untuk Persijap adalah 50 : 50. Tiap tahun dukungan dana dari pemerintah daerah menurun.
Pada tahun 2009 nanti komposisinya diharapkan berubah 40 : 60 (40% dari APBD), kemudian tahun 2010 menjadi 25 : 75. Bahkan kemudian tahun 2011 menjadi nol persen APBD. (22)
*Drs Hendro Martojo MM, bupati Jepara dan ketua umum Persijap