Polisi Masuk Lapangan, Berkah atau Musibah?
http://www.persijap.or.id/2009/02/polisi-masuk-lapangan-berkah-atau.html
Beda Persepsi tentang Bola Mati
Polemik menyangkut penegakan hukum di lapangan sepak bola tak juga berjumpa titik temu. Pihak yang berbeda pendapat itu --polisi dan PSSI-- sama-sama mempertahankan keyakinannya akan dalil-dalil hukum yang mereka punyai.
Bak gajah bertarung, klub-klub kini yang cemas menelan dampaknya. Focus Group Discussion Suara Merdeka di ruang sidang redaksi Jl Kaligawe Km 5, Rabu (25/2) lalu, mencoba menggali lebih dalam tentang kasus tersebut. Wartawan Suara Merdeka, Gunarso, Abduh Imanulhaq, Budi Winarto, Dian Chandra, dan Setyo Wiyono, menuliskan rangkumannya berikut ini.
”KALAU nanti sore Pak Kapolda membuat imbauan lagi di lapangan, lalu PSSI menyatakan bahwa imbauan Kapolda itu sebagai bentuk intervensi sehingga pertandingan harus diulang, wah, kami jelas yang akan kepayahan.
Kita mungkin bisa membuat usulan ke Museum Rekor Indonesia agar rekor pertandingan ulang terbanyak di Jawa Tengah ini dicatat di sana....”
Kalimat itu terdengar amat sederhana. Namun sungguh, itulah bentuk kerisauan yang paling mendalam dari klub-klub sepak bola di Jawa Tengah.
Dokter Nurkukuh, salah satu ofisial Persijap Jepara, melontarkan kekhawatirannya di hadapan Kapolda Jateng Irjen Alex Bambang Riatmodjo yang menjadi narasumber utama dalam diskusi, ”Polisi Masuk Lapangan, Berkah atau Musibah?” yang diselenggarakan Suara Merdeka, Rabu (25/2).
Selain Kapolda, dalam diskusi yang dimoderatori oleh Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Amir Machmud NS itu dihadiri juga oleh pakar hukum asal Unissula, Rachmat Bowo Suharto SH MH, pengamat hukum Unika Soegijapranata Donny Danardono SH MHum, serta ahli hukum Undip Prof Dr Nyoman Sarikat Putra Jaya.
Sayang memang, Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan SH yang semula dijadwalkan hadir, ternyata ”menarik diri” pada detik-detik terakhir.
Dalam diskusi itu, Kapolda memang menegaskan kembali minatnya untuk terus memberikan imbauan kepada para penonton, pemain, juga wasit dan ofisial, agar selalu bersikap tertib selama pertandingan berlangsung. Alex Bambang mengulang imbauannya dalam pertandingan Copa Indonesia antara Persijap Jepara kontra Persikabo Bogor, Rabu (25/2) sore.
Padahal, tiga hari sebelumnya, Komisi Disiplin PSSI sudah menurunkan vonis agar pertandingan PSIS vs Persijap diulang dengan alasan ada intervensi dari Kapolda Jateng, yakni memberikan imbauan sebelum pertandingan.
Sanksi pertandingan ulang untuk PSIS dan Persijap dari Komdis itu langsung direspons Kapolda dengan pernyataan melarang pertandingan ulang dimainkan di Jawa Tengah.
Nah, akibatnya jelas, PSIS dan Persijap yang ”mati di tengah pertarungan gajah” itu karena harus merogoh kocek lebih dalam untuk bertanding ulang di tempat yang nun jauh entah di mana dan kapan!
Polemik penegakan hukum di lapangan sepak bola bermula dari langkah polisi menangkap Nova Zaenal dan Bernard Mamadou di lapangan. Keduanya terlibat baku pukul, sehingga ditetapkan sebagai tersangka dan sempat ditahan. Nova dan Mamadou dianggap memicu perkelahian saat Persis Solo menjamu Gresik United (GU) di Stadion Sriwedari, Kamis 12 Februari lalu.
Sangkaan penganiayaan sesuai Pasal 351 ayat 1 jo 352 KUHP, diterapkan polisi. Ancaman hukuman bagi keduanya, maksimal dua tahun delapan bulan. Kapolda menyatakan proses pidana bakal terus dilanjutkan.
”Saat bola mati, jika terjadi kekerasan, maka itu berarti telah terjadi tindak pidana,” tandas Alex.
Di sinilah masalahnya. Pemahaman terhadap ”bola mati” itu masih amat sumir, simpang siur. Polisi berbeda pendapat dengan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI. Apakah bola mati --seperti terjadi pelanggaran, handsball, atau bola keluar-- bisa dikategorikan bola mati sehingga ”pihak luar” bisa melakukan intervensi dalam pertandingan?
Ataukah ”bola mati” itu setelah wasit meniup peluit panjang sebagai tanda berakhirnya 2x45 menit pertandingan?
Komdis bersikukuh bahwa selama pertandingan belum 2x45 menit, maka semua hukum yang berlaku di dalam lapangan adalah hukum sepak bola dan wasitlah yang menjadi penguasa tunggal.
Antisipasi Kerusuhan
Tapi polisi berkeyakinan bahwa apabila terjadi perbuatan pidana --termasuk perkelahian atau penganiayaan-- dalam pertandingan, maka itu masuk ranah pidana.
Kapolda memandang jeda tersebut sebagai salah satu ruang untuk menegakkan hukum pidana. Jika terjadi adu fisik dan saling tendang saat bola mati itu, polisi berhak masuk untuk menggunakan piranti hukumnya.
Tapi, bukan semata-mata untuk menegakkan aturan itu saja yang dipegang polisi. Terselip alasan lain yang lebih mendasar, yakni sedini mungkin menekan peluang terjadinya keributan.
Dalam kasus Nova-Mamadou itu, potensi kerusuhan memang mencuat. Penonton di tribune sudah terlihat ”panas” melihat para pemain di lapangan berkelahi. Bisa jadi, jika polisi tak mengambil tindakan tegas dengan mengamankan keduanya, penonton marah lalu pecahlah kerusuhan.
Nah, jika konflik ini dibiarkan, situasi panas dapat berbuntut pada tindakan anarki yang bukan tak mungkin akan meluas hingga keluar stadion.
Kasus ini memang rumit, karena ada ”dua hukum” yang bisa berlaku. Hukum pidana di tengah pemberlakuan Kode Disiplin PSSI.
Praktisi bola menyebut bahwa bola dikategorikan ”hidup” dalam tempo 2x45 menit. Sejak kick-off hingga peluit panjang, penegakan hukum yang diterapkan harusnya peraturan pertandingan sepak bola. Wasit lah yang berwenang.
”Perebutan” penerapan hukum saat bola mati juga disorot Donny Danardono SH MHum. Dosen filsafat hukum Unika Soegijapranata itu menyebut, hukum pidana atau hukum negara memang mengatur ketertiban publik.
”Namun dalam sebuah pertandingan olahraga, peraturan permainan menunda penerapan hukum pidana,” ujarnya.
”Penting untuk memahami definisi bola mati. Karena dimulai dari sinilah masalah itu muncul. Jika kita bisa sepakat tentang bola mati itu, kita akan tahu kapan seharusnya hukum positif bisa masuk ke sepak bola,” katanya. (SM-40)
Polemik menyangkut penegakan hukum di lapangan sepak bola tak juga berjumpa titik temu. Pihak yang berbeda pendapat itu --polisi dan PSSI-- sama-sama mempertahankan keyakinannya akan dalil-dalil hukum yang mereka punyai.
Bak gajah bertarung, klub-klub kini yang cemas menelan dampaknya. Focus Group Discussion Suara Merdeka di ruang sidang redaksi Jl Kaligawe Km 5, Rabu (25/2) lalu, mencoba menggali lebih dalam tentang kasus tersebut. Wartawan Suara Merdeka, Gunarso, Abduh Imanulhaq, Budi Winarto, Dian Chandra, dan Setyo Wiyono, menuliskan rangkumannya berikut ini.
”KALAU nanti sore Pak Kapolda membuat imbauan lagi di lapangan, lalu PSSI menyatakan bahwa imbauan Kapolda itu sebagai bentuk intervensi sehingga pertandingan harus diulang, wah, kami jelas yang akan kepayahan.
Kita mungkin bisa membuat usulan ke Museum Rekor Indonesia agar rekor pertandingan ulang terbanyak di Jawa Tengah ini dicatat di sana....”
Kalimat itu terdengar amat sederhana. Namun sungguh, itulah bentuk kerisauan yang paling mendalam dari klub-klub sepak bola di Jawa Tengah.
Dokter Nurkukuh, salah satu ofisial Persijap Jepara, melontarkan kekhawatirannya di hadapan Kapolda Jateng Irjen Alex Bambang Riatmodjo yang menjadi narasumber utama dalam diskusi, ”Polisi Masuk Lapangan, Berkah atau Musibah?” yang diselenggarakan Suara Merdeka, Rabu (25/2).
Selain Kapolda, dalam diskusi yang dimoderatori oleh Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Amir Machmud NS itu dihadiri juga oleh pakar hukum asal Unissula, Rachmat Bowo Suharto SH MH, pengamat hukum Unika Soegijapranata Donny Danardono SH MHum, serta ahli hukum Undip Prof Dr Nyoman Sarikat Putra Jaya.
Sayang memang, Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan SH yang semula dijadwalkan hadir, ternyata ”menarik diri” pada detik-detik terakhir.
Dalam diskusi itu, Kapolda memang menegaskan kembali minatnya untuk terus memberikan imbauan kepada para penonton, pemain, juga wasit dan ofisial, agar selalu bersikap tertib selama pertandingan berlangsung. Alex Bambang mengulang imbauannya dalam pertandingan Copa Indonesia antara Persijap Jepara kontra Persikabo Bogor, Rabu (25/2) sore.
Padahal, tiga hari sebelumnya, Komisi Disiplin PSSI sudah menurunkan vonis agar pertandingan PSIS vs Persijap diulang dengan alasan ada intervensi dari Kapolda Jateng, yakni memberikan imbauan sebelum pertandingan.
Sanksi pertandingan ulang untuk PSIS dan Persijap dari Komdis itu langsung direspons Kapolda dengan pernyataan melarang pertandingan ulang dimainkan di Jawa Tengah.
Nah, akibatnya jelas, PSIS dan Persijap yang ”mati di tengah pertarungan gajah” itu karena harus merogoh kocek lebih dalam untuk bertanding ulang di tempat yang nun jauh entah di mana dan kapan!
Polemik penegakan hukum di lapangan sepak bola bermula dari langkah polisi menangkap Nova Zaenal dan Bernard Mamadou di lapangan. Keduanya terlibat baku pukul, sehingga ditetapkan sebagai tersangka dan sempat ditahan. Nova dan Mamadou dianggap memicu perkelahian saat Persis Solo menjamu Gresik United (GU) di Stadion Sriwedari, Kamis 12 Februari lalu.
Sangkaan penganiayaan sesuai Pasal 351 ayat 1 jo 352 KUHP, diterapkan polisi. Ancaman hukuman bagi keduanya, maksimal dua tahun delapan bulan. Kapolda menyatakan proses pidana bakal terus dilanjutkan.
”Saat bola mati, jika terjadi kekerasan, maka itu berarti telah terjadi tindak pidana,” tandas Alex.
Di sinilah masalahnya. Pemahaman terhadap ”bola mati” itu masih amat sumir, simpang siur. Polisi berbeda pendapat dengan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI. Apakah bola mati --seperti terjadi pelanggaran, handsball, atau bola keluar-- bisa dikategorikan bola mati sehingga ”pihak luar” bisa melakukan intervensi dalam pertandingan?
Ataukah ”bola mati” itu setelah wasit meniup peluit panjang sebagai tanda berakhirnya 2x45 menit pertandingan?
Komdis bersikukuh bahwa selama pertandingan belum 2x45 menit, maka semua hukum yang berlaku di dalam lapangan adalah hukum sepak bola dan wasitlah yang menjadi penguasa tunggal.
Antisipasi Kerusuhan
Tapi polisi berkeyakinan bahwa apabila terjadi perbuatan pidana --termasuk perkelahian atau penganiayaan-- dalam pertandingan, maka itu masuk ranah pidana.
Kapolda memandang jeda tersebut sebagai salah satu ruang untuk menegakkan hukum pidana. Jika terjadi adu fisik dan saling tendang saat bola mati itu, polisi berhak masuk untuk menggunakan piranti hukumnya.
Tapi, bukan semata-mata untuk menegakkan aturan itu saja yang dipegang polisi. Terselip alasan lain yang lebih mendasar, yakni sedini mungkin menekan peluang terjadinya keributan.
Dalam kasus Nova-Mamadou itu, potensi kerusuhan memang mencuat. Penonton di tribune sudah terlihat ”panas” melihat para pemain di lapangan berkelahi. Bisa jadi, jika polisi tak mengambil tindakan tegas dengan mengamankan keduanya, penonton marah lalu pecahlah kerusuhan.
Nah, jika konflik ini dibiarkan, situasi panas dapat berbuntut pada tindakan anarki yang bukan tak mungkin akan meluas hingga keluar stadion.
Kasus ini memang rumit, karena ada ”dua hukum” yang bisa berlaku. Hukum pidana di tengah pemberlakuan Kode Disiplin PSSI.
Praktisi bola menyebut bahwa bola dikategorikan ”hidup” dalam tempo 2x45 menit. Sejak kick-off hingga peluit panjang, penegakan hukum yang diterapkan harusnya peraturan pertandingan sepak bola. Wasit lah yang berwenang.
”Perebutan” penerapan hukum saat bola mati juga disorot Donny Danardono SH MHum. Dosen filsafat hukum Unika Soegijapranata itu menyebut, hukum pidana atau hukum negara memang mengatur ketertiban publik.
”Namun dalam sebuah pertandingan olahraga, peraturan permainan menunda penerapan hukum pidana,” ujarnya.
”Penting untuk memahami definisi bola mati. Karena dimulai dari sinilah masalah itu muncul. Jika kita bisa sepakat tentang bola mati itu, kita akan tahu kapan seharusnya hukum positif bisa masuk ke sepak bola,” katanya. (SM-40)