Keseharian Ekspatriat Persijap
http://www.persijap.or.id/2009/03/keseharian-ekspatriat-persijap.html
Tak Suka Pedas, Evaldo Memasak Sendiri
* Oleh Muhammadun Sanomae
Persijap menunjukkan prestasi yang menggembirakan dalam kompetisi Djarum Indonesia Super League musim ini. Mereka berada di papan atas
klasemen sementara. Keberhasilan Itu tidak bisa dilepaskan dari peran
beberapa pemain asingnya. Bagaimana keseharian mereka?
”WIS sunat opo durung?”. Kalimat itu meluncur dari mulut Evaldo Silva kepada Niam, anak berusia 13 tahun asal Bangsri, Jepara. Niam yang pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) Hasyim Asyari Bangsri kelas 7 itu bertandang ke mes pemain Persijap di Perumahan Bukit Asri Demaan. Dia datang bersama tiga teman sekelasnya, yaitu Iin, Endah, dan Ela.
Evaldo pagi itu memang ”ditantang” Niam, apakah di luar kelihaiannya memotong serangan lawan saat bermain di lapangan hijau, juga bisa memasak dengan baik. Wajar saja Niam ingin tahu, karena sebelumnya kapten tim tersebut bercerita kalau dia lebih sering memasak sendiri, daripada jajan untuk makan sehari-hari.
Pemain asal Brasil tersebut saat itu mengambil pisau dari rak dapur, dan sebelum memotong seonggok daging sapi balik menggoda Niam. ”Nek durung sunat kowe gelem tak sunati?” tutur Evaldo. Sontak, Iin, Endah dan Ela tertawa lebar melihat canda pemain kelahiran Barra Mansa di kawasan Rio de Janeiro tersebut.
Empat pelajar itu juga berbincang akrab dengan tiga ekspatriat lainnya, yaitu Amarildo Souza (Brasil), Pablo Frances (Argentina) dan Phaitoon Thiabma (Thailand). Mereka juga sekaligus melakukan wawancara dengan para pemain asing tersebut untuk penerbitan majalah sekolah mereka.
Betah
Evaldo memang ”galak” saat merumput, namun terhadap bocah-bocah yang selama ini kerap berkunjung ke mes dan minta tanda tangan, dia mudah ramah. ”Ora usah isin-isin. Cepet, arep takon opo?”, Evaldo memecah kebuntuan. ”Wis adus, durung?,” tanyanya lagi.
Anak-anak itu hanya bisa tertawa lebar, barangkali mereka menduga Evaldo hanya fasih berbahasa Portugis dan Spanyol. Ternyata pemain itu mahir pula berbahasa Jawa, selain Indonesia.
Jika Evaldo lancar berbahasa Jawa, tiga rekannya berbeda. Empat ekspatriat itu memang sekawan yang kompak di luar lapangan maupun saat berlaga.
Evaldo yang sudah membela Persijap sejak 2004 sudah betah di Jepara. Apalagi hatinya sudah tertambat dengan Renjani Rahmatika, perempuan asal Salatiga.
”Jepara memang tak ramai, tapi saya biasa dengan kondisi ini. Kalau mau jalan-jalan dan makan-makan ya ke pantai,” kata pemain yang menyukai nasi goreng ini. Karena tak suka menyantap makanan pedas dan manis, dari dulu dia memasak sendiri. ”Aku suka masakan yang agak asin”.
Meski sudah lima musim di ”Laskar Kalinyamat” dan usianya di atas kepala tiga, Evaldo belum memutuskan gantung sepatu atau pulang ke negaranya. Penampilannya masih tangguh, tertunjang fisiknya yang prima. Tak mengonsumsi makanan atau minuman berbau alkohol dan rajin menjaga kondisi fisik, merupakan resepnya menjaga tubuh tetap bugar.
Kiat
Pemain yang musim ini sudah mencetak enam gol itu dicecar banyak pertanyaan oleh Niam dkk, termasuk bagaimana kiat menjadi pesepak bola andal. Evaldo pun melihat sekilas budaya anak-anak di Indonesia, terutama Jepara terkait kesungguhan menjadi pemain hebat.
Dia lantas bertutur panjang lebar tradisi Brasil yang mafhum sebagai ”rahim” paling produktif di dunia dalam melahirkan pesepak bola terkemuka.
”Lingkungan menentukan, tapi kemauan yang kuat dari diri sendiri lebih penting. Kamu mau tahu waktu aku masih enam tahun. Saat itu aku ke mana-mana membawa bola. Tidur pun memeluk bola” ungkap pemain yang kenal Bali terlebih dulu sebelum nama Indonesia, karena kasus bom 12 Oktober 2002.
Ya, dia mengungkap sedemikian tinggi minat anak-anak Brasil ingin menjadi pesepak bola profesional, hingga saat menjelang tidur pun terbawa keinginan itu.
Tradisi masuk sekolah sepak bola sejak kecil sudah tertata di kalangan anak-anak negerinya, dan mereka terus berkembang karena kompetisi semua level berjalan.
Dia memanggap makanan yang dikonsumsi cukup berpengaruh pada kondisi fisik. ”Ini bukan masalah kecil. Bagaimana mau berlari kencang di lapangan kalau makanannya terlalu banyak karbohidratnya.”
Tapi baginya, bukan tidak mungkin anak-anak di Indonesia bisa bersaing pada masa depan. Titik awalnya adalah pembinaan pemain usia muda, dan pengelolaan oleh orang-orang yang tahu betul sepak bola.
Diare
Sementara Souza merasa nyaman dalam musim keduanya di Kota Ukir. ”Ini musim tanpa cemoohan di stadion. Saya bersantai di jalan, membeli makan, dan orang-orang memberiku semangat. Ini luar biasa dan saya jarang menjumpai,” ujar pemain yang sudah mencetak empat gol tersebut.
Bagi Pablo, bersama Persijap adalah musim pertama di Indonesia. Penggemar bebek goreng itu merasa penerimaan publik pada dirinya lebih dari cukup.
”Saya diare saat pertama di Jepara karena makanan, tapi saya terus mendapat banyak kawan dan semangat. Sekarang saya seperti jadi orang Jepara, suka bebek goreng dan nasi,” kata pemain yang sebelumnya merumput di klub-klub Bolivia tersebut. Dia merasa mendapatkan klub yang tepat.
Delapan gol di arena liga dan copa yang dicetaknya memberinya keoptimistisan.
Phaitoon yang sudah tiga musim di Jepara juga merasa betah. ”Saat saya cedera dan kembali ke Thailand, saya masih berpikir bisa kembali ke sini. Ternyata bisa,” ujarnya.
Pemain yang suka tumis kangkung itu begitu dekat dengan publik bola Jepara, karenanya dia memuji mereka. ”Kami tertinggal skor, namun mereka masih bersama kami,” tutur Phaitoon merujuk dua laga terakhir melawan PSMS dan Sriwijaya FC. Manajemen tim yang padu disebutnya memberi suasana pasti, dan dia membalasnya dengan integritas dan loyalitas. (22)
* Oleh Muhammadun Sanomae
Persijap menunjukkan prestasi yang menggembirakan dalam kompetisi Djarum Indonesia Super League musim ini. Mereka berada di papan atas
klasemen sementara. Keberhasilan Itu tidak bisa dilepaskan dari peran
beberapa pemain asingnya. Bagaimana keseharian mereka?
”WIS sunat opo durung?”. Kalimat itu meluncur dari mulut Evaldo Silva kepada Niam, anak berusia 13 tahun asal Bangsri, Jepara. Niam yang pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) Hasyim Asyari Bangsri kelas 7 itu bertandang ke mes pemain Persijap di Perumahan Bukit Asri Demaan. Dia datang bersama tiga teman sekelasnya, yaitu Iin, Endah, dan Ela.
Evaldo pagi itu memang ”ditantang” Niam, apakah di luar kelihaiannya memotong serangan lawan saat bermain di lapangan hijau, juga bisa memasak dengan baik. Wajar saja Niam ingin tahu, karena sebelumnya kapten tim tersebut bercerita kalau dia lebih sering memasak sendiri, daripada jajan untuk makan sehari-hari.
Pemain asal Brasil tersebut saat itu mengambil pisau dari rak dapur, dan sebelum memotong seonggok daging sapi balik menggoda Niam. ”Nek durung sunat kowe gelem tak sunati?” tutur Evaldo. Sontak, Iin, Endah dan Ela tertawa lebar melihat canda pemain kelahiran Barra Mansa di kawasan Rio de Janeiro tersebut.
Empat pelajar itu juga berbincang akrab dengan tiga ekspatriat lainnya, yaitu Amarildo Souza (Brasil), Pablo Frances (Argentina) dan Phaitoon Thiabma (Thailand). Mereka juga sekaligus melakukan wawancara dengan para pemain asing tersebut untuk penerbitan majalah sekolah mereka.
Betah
Evaldo memang ”galak” saat merumput, namun terhadap bocah-bocah yang selama ini kerap berkunjung ke mes dan minta tanda tangan, dia mudah ramah. ”Ora usah isin-isin. Cepet, arep takon opo?”, Evaldo memecah kebuntuan. ”Wis adus, durung?,” tanyanya lagi.
Anak-anak itu hanya bisa tertawa lebar, barangkali mereka menduga Evaldo hanya fasih berbahasa Portugis dan Spanyol. Ternyata pemain itu mahir pula berbahasa Jawa, selain Indonesia.
Jika Evaldo lancar berbahasa Jawa, tiga rekannya berbeda. Empat ekspatriat itu memang sekawan yang kompak di luar lapangan maupun saat berlaga.
Evaldo yang sudah membela Persijap sejak 2004 sudah betah di Jepara. Apalagi hatinya sudah tertambat dengan Renjani Rahmatika, perempuan asal Salatiga.
”Jepara memang tak ramai, tapi saya biasa dengan kondisi ini. Kalau mau jalan-jalan dan makan-makan ya ke pantai,” kata pemain yang menyukai nasi goreng ini. Karena tak suka menyantap makanan pedas dan manis, dari dulu dia memasak sendiri. ”Aku suka masakan yang agak asin”.
Meski sudah lima musim di ”Laskar Kalinyamat” dan usianya di atas kepala tiga, Evaldo belum memutuskan gantung sepatu atau pulang ke negaranya. Penampilannya masih tangguh, tertunjang fisiknya yang prima. Tak mengonsumsi makanan atau minuman berbau alkohol dan rajin menjaga kondisi fisik, merupakan resepnya menjaga tubuh tetap bugar.
Kiat
Pemain yang musim ini sudah mencetak enam gol itu dicecar banyak pertanyaan oleh Niam dkk, termasuk bagaimana kiat menjadi pesepak bola andal. Evaldo pun melihat sekilas budaya anak-anak di Indonesia, terutama Jepara terkait kesungguhan menjadi pemain hebat.
Dia lantas bertutur panjang lebar tradisi Brasil yang mafhum sebagai ”rahim” paling produktif di dunia dalam melahirkan pesepak bola terkemuka.
”Lingkungan menentukan, tapi kemauan yang kuat dari diri sendiri lebih penting. Kamu mau tahu waktu aku masih enam tahun. Saat itu aku ke mana-mana membawa bola. Tidur pun memeluk bola” ungkap pemain yang kenal Bali terlebih dulu sebelum nama Indonesia, karena kasus bom 12 Oktober 2002.
Ya, dia mengungkap sedemikian tinggi minat anak-anak Brasil ingin menjadi pesepak bola profesional, hingga saat menjelang tidur pun terbawa keinginan itu.
Tradisi masuk sekolah sepak bola sejak kecil sudah tertata di kalangan anak-anak negerinya, dan mereka terus berkembang karena kompetisi semua level berjalan.
Dia memanggap makanan yang dikonsumsi cukup berpengaruh pada kondisi fisik. ”Ini bukan masalah kecil. Bagaimana mau berlari kencang di lapangan kalau makanannya terlalu banyak karbohidratnya.”
Tapi baginya, bukan tidak mungkin anak-anak di Indonesia bisa bersaing pada masa depan. Titik awalnya adalah pembinaan pemain usia muda, dan pengelolaan oleh orang-orang yang tahu betul sepak bola.
Diare
Sementara Souza merasa nyaman dalam musim keduanya di Kota Ukir. ”Ini musim tanpa cemoohan di stadion. Saya bersantai di jalan, membeli makan, dan orang-orang memberiku semangat. Ini luar biasa dan saya jarang menjumpai,” ujar pemain yang sudah mencetak empat gol tersebut.
Bagi Pablo, bersama Persijap adalah musim pertama di Indonesia. Penggemar bebek goreng itu merasa penerimaan publik pada dirinya lebih dari cukup.
”Saya diare saat pertama di Jepara karena makanan, tapi saya terus mendapat banyak kawan dan semangat. Sekarang saya seperti jadi orang Jepara, suka bebek goreng dan nasi,” kata pemain yang sebelumnya merumput di klub-klub Bolivia tersebut. Dia merasa mendapatkan klub yang tepat.
Delapan gol di arena liga dan copa yang dicetaknya memberinya keoptimistisan.
Phaitoon yang sudah tiga musim di Jepara juga merasa betah. ”Saat saya cedera dan kembali ke Thailand, saya masih berpikir bisa kembali ke sini. Ternyata bisa,” ujarnya.
Pemain yang suka tumis kangkung itu begitu dekat dengan publik bola Jepara, karenanya dia memuji mereka. ”Kami tertinggal skor, namun mereka masih bersama kami,” tutur Phaitoon merujuk dua laga terakhir melawan PSMS dan Sriwijaya FC. Manajemen tim yang padu disebutnya memberi suasana pasti, dan dia membalasnya dengan integritas dan loyalitas. (22)